Bahwa Kepolisian RI masih banyak yang perlu dibenahi, itu tak ada yang memungkirinya. Tetapi, janganlah menutup mata pada kelebihan aparat penegak hukum berbaju coklat itu. Terutama berkaitan pemberantasan terorisme. Polisi dinilai lemah dalam mengantisipasi terorisme sehingga meletuslah bom di Hotel JW Marrtiot dan Rizt Carlton, Jumat 17 Juli 2009.
Sekarang mari membuka lembaran kasus terorisme. Selama periode 2000-2009, terorisme terjadi minimal sekali dalam setahun. Dimulai dengan ledakan bom mobil di depan rumah Duta Besar Filipina, Menteng, Jakarta Pusat, pada 1 Agustus 2000. Dua orang tewas, 21 luka-luka termasuk Duta Besar Filipina Leonides T Caday.
Kemudian berlanjut pada peledakan bom di sejumlah kota (Bom Natal) pada 24 Desember 2000. Aksi yang dikenal dengan sebutan Teror Malam Natal ini menelan 16 korban jiwa dan 96 luka-luka. Setahun berselang, kasus serupa muncul lagi. Bom mengguncang Plaza Atrium, Senen, Jakarta Pusat, pada 23 September 2001, mencederai enam korban.
Dunia terguncang dengan aksi bom bunuh diri di Bali pada 12 Oktober 2002. Korban tewas 202 orang, 300 luka-luka. Disusul dengan aksi bom bunuh diri di Hotel JW Marriott, Mega Kuningan, Jakarta Selatan, pada 5 Agustus 2003. Di sini 12 korban tewas, 152 luka-luka.
Bom bunuh diri juga yang menggelegar didi depan Kedutaan Besar Australia, Kuningan, Jakarta Selatan, pada 9 September 2004. Lima orang tewas, dan ratusan luka-luka. Bali kembali terguncang dengan bom bunuh diri pada 1 Oktober 2005, 22 orang tewas dan 102 luka-luka.
Aksi terorisme di sepanjang 2000-2005 ini, seperti berkejaran dengan aksi Tim Antiteror Detasemen Khusus 88 Polri yang terus memburu para terorisme. Polisi memang dapat mengungkap setiap kasus dan mata rantainya.
Dimulai dengan siapa yang bunuh diri, aktor di belakang mereka, sumber dana, hingga menyinkap kaitan antara satu kasus dengan kasus yang lain. Polisi juga telah mengurai mata rantai terorisme di Indonesia dengan sangat terang.
Dari sisi tersangkanya, polisi menggulung sekitar 80-an tersangkanya. Semuanya sudah mendekam dalam penjara. Empat dedengkotanya malah pidana mati. Dua di antaranya sudah dieksekusi, yaitu Mukhlas dan Imam Samudra. Beberapa ditembak mati dalam berbagai penyergapan, seperti Azhari Husin, warga Malaysia, si perakit bom.
Selain penangkapan, petugas Densus 88 juga menangkap teroris sebelum sempat mereka beraksi. Dari mereka disita ratusan bom yang memang sudah siap diledakkan.
Polisi telah membuat kekuatan terorisme menjadi compang-camping. Namun masalahnya, dua tokoh terorisme kelas elitnya belum tertangkap. Misalnya, Noordin M. Top dan Zulkarnaen (Ari Sumarsono) yang adalah seorang pemimpin laskar perang terorisme ini. Zulkarnaenmembawahi pasukan istimata (orang-orang yang menyerahkankan nyawanya untuk bom bunuh diri).
Diduga Noordin yang jago dalam pengkaderan teroris berada pada kasus bom bunuh diri di Marriot dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009 ini. Disini terungkalah, Noordin ternyata sudah merekrut anggota baru. Empat orang yang disebut polisi, seperti Maruto, Nur Hasbi, Ibrahim dan Ahmadi, adalah nama baru.
Apakah di sini polisi gagal mengantisipasi? Rada sulit memvonisnya. Ini ibarat bagaimana kita harus memprediksi kapan orang mau merampok. Susah sekali. Selain itu, Undang-undang Antiteroris milik kita juga tak membenarkan penegak hukum menangkap orang hanya karena dia berencana berbuat jahat.
Bahkan, polisi tahu mereka berlatih, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Masalahnya mereka berlatih tanpa memakai senjata api atau senjata tajam. Kondisi seperti ini didukung dengan masyarakat kita yang sangat permisif. Cobalah lihat, orang sekampung tak kenal Noordin M. Top yang buron dan kawin dengan seorang wanita di situ. Ini kan aneh sekali.
Kondisi seperti ini berbeda dengan Singapura dan Malaysia, yang undang-undangnya membenarkan aparat menangkap orang yang telah berencana (dalam perkara terorisme). Sebagai contoh, pemerintah Malaysia langsung menutup Pesantren Luqmanul Hakiem di Johor, Malaysia, yang ditengarai sebagai tempat pendidikan terorisme. Dan mereka inilah yang kemudian ke Indonesia semuanya.
Jadi dalam persoalan terorisme, polisi tidak berutang kasus. Brigadir Jenderal (Purnawirawan) Suryadarma Salim, mantan Komandan Detasemen Khusus 88 Polri, berkeyakinan kasus ini akan terungkap lagi. Hanya saja, jika orang semacam Noordin M Top masih berkelikaran bebas, maka selama itu pula ancaman terorisme akan terus berlanjut di Indonesia.
- VIVAnews
0 komentar:
Post a Comment